Selasa, 16 Desember 2008

Menyoal Keterbatasan Gizi Ibu Menyusui

Oleh Neni Utami Adiningsih Sabtu, 13 Agustus 2005 Perhatian masyarakat terhadap kecukupan gizi bagi ibu yang sedang menyusui masihlah kurang. Itulah sebabnya, dalam peringatan Pekan ASI Sedunia (World Breasfeeding Week), 1-7 Agustus tahun ini diangkat tema Breastfeeding and Family Foods: Loving and Healty. Dalam proses menyusui, pembentukan air susu ibu (ASI) melibatkan "bahan mentah" yang terdapat dalam tubuh ibu, seperti protein, vitamin-mineral, karbohidrat, lemak, dan sebagainya. Melalui pembuluh darah, bahan-bahan tersebut dipasokkan ke jaringan kelenjar susu (mammary alveoli) yang merupakan pabrik ASI. Melalui saluran susu (ductus lactiferous), ASI yang dihasilkan di pabrik ASI, kemudian disalurkan ke dalam gudang susu (sinus lactiferous) yang berfungsi menampung ASI. Dengan diambilnya bahan mentah pembuatan ASI dari dalam tubuh ibu, maka kebutuhan gizi seorang ibu yang menyusui lebih tinggi 25 persen dibandingkan dengan kebutuhan gizi perempuan/ibu yang tidak sedang menyusui, bahkan juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan kebutuhan gizi ibu yang sedang hamil. Dan, tentu saja lebih tinggi dari kebutuhan gizi suaminya. Dalam hal kebutuhan kalori, misalnya, ibu yang sedang hamil hanya memerlukan 2.200-2.300 kkal per hari. Sedangkan ibu menyusui, pada enam bulan pertama setelah melahirkan sedikitnya memerlukan tambahan 700 kkal per hari atau 2.900-3.000 kkal per hari. Hal ini karena pada enam bulan pertama usia bayi, ketika bayi hanya mendapatkan asupan makan berupa ASI, maka produksi ASI harus diupayakan untuk bisa mencukupi, yaitu berkisar 600-1000 cc setiap hari. Baru pada bulan ketujuh, seiring dengan mulai dikenalkannya makanan tambahan bagi bayi yang membuat kebutuhan bayi akan ASI mulai berkurang maka kebutuhan ibu menyusui akan tambahan kalori juga sedikit berkurang, menjadi 500 kkal per hari. Tapi, itu pun masih lebih tinggi daripada kebutuhan ibu yang hamil apalagi yang tidak sedang hamil. Demikian juga dengan kebutuhan gizi suaminya. Hal ini karena selain untuk proses produksi ASI, sebanyak 850 cc, seorang ibu memerlukan tambahan kalori sebanyak 1.000 kkal dari kebutuhan orang dewasa normal mengingat pada saat menyusui, ibu juga harus mengeluarkan energi ekstra. Bukankah setidaknya 2-3jam sekali (bahkan mungkin lebih sering) si ibu mesti menyusui bayinya? Di sela-sela waktu itu, si ibu disibukkan dengan urusan perawatan bayinya (memandikan, menggendongnya agar tidak rewel, dan sebsgainya). Sementara di malam hari, di kala semua orang sedang tidur nyenyak, si ibu justru harus tetap "siap siaga". Memang mungkin matanya tampak terpejam, tetapi gerakan halus dan suara lirih dari sang bayi akan segera membuatnya terjaga. Ia sebentar-sebentar harus bangun, kalau tidak untuk menyusui bayinya, ya untuk mengganti popoknya yang basah. Sementara kondisi fisiknya pasca melahirkan juga belum pulih benar. Belum lagi, bila si ibu masih juga mengerjakan aktivitas sehari-hari. Apalagi, bila ia mempunyai beberapa anak yang juga masih kecil, yang masih memerlukan perhatiannya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan tambahan kalori (energi) tersebut, tentu saja terkait dengan kuantitas dan kualitas asupan makanan. Pertanyaannya, bagaimana bila ibu yang sedang menyusui tersebut tidak dapat memeroleh asupan makanan sebagaimana mestinya? Proses menyusui, memang proses yang bernuansa parasit bagi ibu. Artinya, bila kebutuhan untuk membuat ASI tidak dapat tercukupi dari makanan yang diasup ibu maka tubuh ibu akan menggunakan "simpanan" bahan makanan dari tubuhnya sendiri. Bila ibu menyusui kekurangan karbohidrat, misalnya, maka tubuh ibu akan mengambil cadangan lemak dari tubuh ibu kemudian dijadikan karbohidrat untuk bahan baku ASI-nya. Dan, memang, sampai dengan batas keadaan tertentu, kualitas dan kuantitas ASI akan tetap dipertahankan, walau harus dengan mengorbankan kondisi si ibu sendiri. Kualitas ASI baru berkurang apabila ibu menderita kekurangan gizi tingkat ke-3, bahkan pada beberapa kasus kualitas gizi ASI masih tetap dipertahankan sampai tingkat kekurangan gizi ibu lebih dari derajat ini. Bila ibu menyusui, sangat tidak mendapat asupan karbohidrat, sementara cadangan lemak dalam tubuhnya juga telah habis dipergunakan sebagai bahan membuat ASI bagi anaknya, maka selain akan membuat tubuh si ibu tampak kurus, kulitnya keriput, produksi hormon terganggu, dan daya tahan tubuhnya turun hingga membuatnya kekurangan tenaga. Dalam kondisi macam ini, seorang ibu bisa pingsan setelah menyusui anaknya. Yang sangat berbahaya, bila ibu yang sedang menyusui kekurangan protein. Sebab hal tersebut akan membuat produksi ASI menjadi sedikit dengan kualitas yang rendah. Pada gilirannya hal ini tentu akan memengaruhi kualitas kesehatan bahkan tingkat kecerdasan bayinya. Belum lagi, lemahnya tingkat kesehatan ibu yang sedang menyusui akan memengaruhi kemampuannya dalam mengasuh dan merawat bayinya dan hal ini merupakan pertanda buruk bagi kualitas hidup anak. Kondisi seperti ini tentu tidak kita inginkan. Namun sayangnya, kondisi sebaliknyalah yang saat ini dialami oleh banyak ibu yang sedang hamil dan menyusui. Mereka mengalami kekurangan gizi. Dari sekitar 200.000 perempuan yang sedang hamil pada 2004, sebanyak 69,7 persen di antaranya menderita anemia gizi. Kondisi tersebut disebabkan oleh kurangnya asupan makanan bergizi. Bila untuk ibu yang sedang hamil saja, begitu minim perhatiannya, apalagi terhadap ibu yang sedang menyusui. Ketaksetaraan Ketaksetaraan adalah biang penyebab pengabaian terhadap kecukupan gizi bagi perempuan yang sedang menyusui. Kondisi ketaksetaraan ini diilhami oleh adanya perbedaan peran. Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa ada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, yang secara logis akan menyebabkan adanya perbedaan gender (gender differences), yang pada gilirannya membentuk peran gender (gender role). Permasalahan mengemuka ketika terjadi ketidaksamaan penilaian atas peran gender atau diskriminasi gender. Diskriminasi gender ini diperparah oleh masih kentalnya nuansa patriaki. Bahkan begitu parahnya tingkat diskriminasi ini, hingga juga merambah dalam hal alokasi makanan. Kondisi ini harus segera dibenahi. Marilah kita sosialisasikan bahwa laki-laki - perempuan mempunyai hak yang sama akan pemenuhan asupan pangan. Bahkan bila perempuan tersebut sedang hamil, melahirkan dan menyusui, ia berhak memperoleh prioritas dalam hal distribusi pangan. Harus diakui bahwa bukan hal mudah untuk menghapus kondisi ketaksetaraan tersebut, apalagi bila dikaitkan dengan isu kekerasan. *** Penulis, ibu rumah tangga, penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga (Family Empowerment Studies Forum).
sumber : www.mail-archive.com.mht

Tidak ada komentar:

Posting Komentar